...bismillahirrahmanirrahim...
Demi cintanya pada manusia, Allah SWT membuka banyak saluran dan jalan bagi untuk keselamatan hamba-hamba-Nya, salah satunya lewat Ramadhan, bulan di mana Allah SWT membuka selebar-lebarnya pintu cinta-Nya pada manusia.
Allah SWT adalah Dzat pemilik cinta. Cinta Allah adalah cinta tak bersyarat; unconditional love. Dia mencintai semua hamba-Nya tanpa mengharap balasan apa pun. Cinta Allah adalah cinta “walaupun”, bukan cinta “karena”. Allah selalu mencintai hamba-Nya walaupun hamba itu berbuat zalim dan terus membangkang perintah-Nya. Sebaliknya, cinta manusia adalah cinta “karena”. Manusia mencintai sesuatu karena sesuatu itu ada manfaat bagi dirinya. Manusia beramal, karena ingin mendapatkan balasan dan kebaikan.
Demi cinta-Nya tersebut, Allah SWT membuka jalan bagi keselamatan dan kebahagian manusia. Salah satunya adalah dengan dikaruniakannya Ramadhan sebagai bulan istimewa. Maka, tak berlebihan bila Ramadhan dikatakan sebagai bulan cinta, bulan di mana Allah SWT membuka pintu-pintu kecintaan-Nya.
“Tanda cinta” dari Allah SWT ini, digambarkan dengan sangat tepat oleh Rasulullah SAW, “Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang semua hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.
Demikianlah, Ramadhan adalah bulan di mana Allah SWT memanggil semua hamba-Nya untuk kembali menuju hakikat hidup sebenarnya. Ada perumpamaan menarik dari Dr Jalaluddin Rakhmat. Menurutnya, manusia adalah “anak-anak Allah” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini. Dalam QS Al-An’am [6] ayat 32 Allah SWT berfirman, “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” Karena itu, Kabah disebut rumah Allah (Baitullah), karena ke sanalah para jamaah haji berangkat, meninggalkan segala urusan dunia mereka. Ramadhan pun disebut bulan Allah, karena pada bulan itulah kita pulang, kita meninggalkan halaman permainan kita.
Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, atau kesenangan duniawi lainnya. Kita lupa bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan itulah Allah menyeru kita untuk kembali kepada-Nya. Allah telah mempersiapkan jamuan makanan berupa rahmat dan kasih sayang-Nya bagi kita yang “bermain” terlalu jauh dari “rumah”.
Lewat syairnya, Jalaluddin Rumi mengungkapkan: “Bagaimana keadaan sang pencinta?,” tanya seorang lelaki. Kujawab,”Jangan bertanya seperti itu, Sobat: Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu; Ketika Dia memanggilmu, engkau pun akan memanggil-Nya.”
Ramadhan adalah bukti cinta Allah. Bahagia bertemu dengan Ramadhan sama artinya dengan bahagia bertemu Allah. Konsekuensinya jelas, “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya” (HR Bukhari).
Bila kita mencintai Allah, kita harus menyambut apa pun yang datang dan diserukan-Nya, termasuk Ramadhan. Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menyatakan adalah sebuah kebohongan besar bila seseorang mencintai sesuatu tetapi ia tidak memiliki kecintaan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya. Al-Ghazali menulis, “Bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah SWT tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasul-Nya tetapi ia tidak mencintai kaum fakir dan miskin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai surga tetapi ia tidak mau menaati Allah SWT.”
Karena cinta Rasulullah SAW dan para sahabat selalu menyambut Ramadhan dengan sukacita. Bahkan sejak Rajab dan Sya’ban mereka telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya, termasuk dengan memperbanyak puasa dan amalan sunnat lainnya. Siti ‘Aisyah berkata, “Tidak pernah Rasulullah SAW berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari puasanya pada bulan Sya’ban, ada kalanya sebulan penuh. Dan adakalanya hampir penuh hanya sedikit yang tidak puasa” (HR Bukhari Muslim).
Tatkala cinta sudah berbicara, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak bahagia menyambut Ramadhan. Tidak ada lagi keluh-kesah menahan lapar, haus, dan semua keletihan tatkala menjalani Ramadhan.
Lewat cintalah semua yang pahit akan menjadi manis.
Wallahu a’lam bish-shawab.
… Allah Maha Besar … Marhaban Yaa Ramadhan …
No comments:
Post a Comment